Badak dan Taman Nasional Ujung Kulon (antara kebanggaan dan ke”tidak”pedulian)

Pengantar
Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) terletak di semenanjung kepala burung di ujung Barat Provinsi Banten, merupakan salah satu taman nasional dari 50 taman nasional yang ada di Indonesia. Ujung Kulon ditetapkan sebagai taman nasional oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1992, dengan kawasan seluas 120.551 Ha, terdiri dari daratan seluas 76.214 Ha dan kawasan perairan laut seluas 44.337 Ha, secara administrasi TNUK berada di wilayah Kecamatan Sumur dan Cimanggu Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.
Salah satu kekayaan keanekaragaman hayati TNUK yang paling terkenal adalah Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) karena menjadi bagian dari perlindungan dan kekayaan alam dunia (the world heritage), disamping keanekaragaman flora dan fauna lainnya yang jumlahnya mencapai ratusan atau bahkan ribuan jenis. Dengan perbandingan kekayaan jenis antara Pulau Jawa dengan TNUK sebesar; 26,32% untuk mamalia, 66,30% untuk burung dan 34,10% untuk jenis reptil (sumber: Profil Pengelolaan TNUK). Satwa langka dan dilindungi selain badak Jawa di TNUK, antara lain; banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), surili (Presbytis comata comata), lutung (Trachypithecus auratus auratus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus), kucing batu (Prionailurus bengalensis javanensis), owa (Hylobates moloch) dan kima raksasa (Tridacna gigas).
Ditetapkannya TNUK dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya sebagai The Natural World Heritage Site oleh Komisi Warisan Alam Dunia yang berada di bawah naungan UNESCO pada tahun 1992, sudah tentu memberikan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah Provinsi Banten. Penetapan tersebut secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong nama Provinsi Banten menjadi lebih dikenal oleh masyarakat dunia, hal tersebut dibuktikan relatif tingginya kunjungan wisatawan mancanegara dari berbagai negara di dunia ke TNUK dengan jumlah mencapai 5.000 orang rata-rata per tahun untuk periode tahun 1996 – 2000.
Konflik
Hal yang berbeda dirasakan oleh 58.254 jiwa masyarakat dari Kecamatan Sumur dan Cimanggu (sumber: Profil Pengelolaan TNUK), yang bertempat tinggal dan menggantungkan kehidupannya pada potensi sumber daya alam yang ada di sekitar dan di dalam kawasan TNUK, upaya-upaya konservasi akan dilihat sebagai ancaman terhadap eksistensi dan keberlanjutan kehidupan mereka. Cara pandang yang berbeda dari masyarakat tersebut disebabkan antara lain karena kurangnya upaya membangun pemahaman masyarakat tentang peran penting TNUK bagi komunitas masyarakat konservasi dunia oleh pemerintah, atau karena masyarakat tidak peduli karena konflik yang terus terjadi dengan kecenderungan yang terus membesar dan meruncing dari waktu ke waktu.
Konflik yang barangkali telah di mulai ketika kawasan Ujung Kulon ditetapkan menjadi kawasan cagar alam pada tahun 1921 oleh Pemerintah Kolonial Belanda, lalu dirubah menjadi kawasan suaka alam pada tahun 1937. Setelah masa kemerdekaan Pemerintah Republik Indonesia membuat beberapa regulasi yang berkaitan dengan Ujung Kulon, diantaranya keputusan tentang batas-batas kawasan lindung dan lahan pertanian oleh Menteri Pertanian pada tahun 1958 dan perubahan status kawasan suaka margasatwa menjadi Taman Nasional Ujung Kulon didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan pada 26 Februari 1992.
Pada dasarnya berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka untuk menjaga dan melestarikan beragam keanekaraman hayati yang ada di Ujung Kulon, namun yang disayangkan pemerintah cenderung menggunakan pendekatan represif yang mengabaikan hak-hak hidup dari masyarakat yang telah tinggal di kawasan tersebut jauh sebelum penguasa-penguasa negeri membuat ketetapan-ketetapan konservasi di kawasan tersebut. Dari pada menggunakan pendekatan persuasif dan kompromistik, pemerintah terkesan lebih mementingkan badak (baca “binatang”) di Ujung Kulon dari pada manusia di Ujung Kulon, karena itu masyarakat kemudian seperti disingkirkan dengan batas-batas hukum yang secara sepihak diputuskan oleh pemerintah, padahal kawasan itu telah mereka huni secara turun temurun, sepertinya halnya Legon Pakis telah menjadi kampung yang besar dan ramai pada saat Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan kawasan Ujung Kulon sebagai cagar alam. Kesan disingkirkan dari tempat hunian dan lahan garapan, dikalahkan oleh kepentingan melestarikan badak yang meskipun dianggap sebagai harta dunia tetapi sejatinya tidak memberikan manfaat ekonomi apapun pada masyarakat secara luas.
Perasaan dimarginalkan itulah yang mendorong masyarakat untuk melakukan pembelaan atau bahkan perlawanan untuk membela hak-hak mereka yang telah diambil oleh kekuasaan, dikangkangi penguasa karena alasan konservasi dan pelestarian badak. “Perlawanan” dalam bentuk lain dilakukan masyarakat dengan mencuri kayu (illegal logging) dan membunuh badak untuk diambil culanya, semua dilakukan karena alasan ketiadaan pilihan mereka mengatasi kebutuhan hidup, sementara keterampilan yang mereka miliki hanya bertani. Sehingga ketika mereka tidak lagi bisa bertani, karena lahan yang bisa mereka gunakan untuk bertani telah dirubah pemerintah menjadi tempat bermain dan penggembalaan binatang, mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit.
Lalu siapa yang harus dipersalahkan ketika konflik itu memuncak dan berubah menjadi perkelahian antar sanak kadang, antar teman, antara pemerintah dengan rakyatnya hingga ada yang terluka bahkan meregang nyawa, menyisakan piung-puing bekas bangunan dan fasilitas taman nasional yang dibakar oleh masyarakat. Fasilitas yang sebenarnya milik kita, karena dibangun dari dana kita yang dikelola oleh negara, kita telah membakar rumah kita sendiri karena ketidak pahaman, karena kesalah pahaman, karena keegoisan, karena kebodohan, karena kita “pakewuh” memperlakukan manusia dan badak, karena mungkin kita lupa melandaskan apa yang kita lakukan dengan ketentuan Al-Khalik dan keadilan menurut ukuran manusia.
Antara Kebanggaan dan Kepedulian
Adanya badak di lambang Kabupaten Pandeglang dan miniatur badak di Kantor Gubernur Banten, bahkan Pemerintah Kabupaten Serang pada beberapa tahun lalu sempat membangun tugu berhiaskan kepala badak di persimpangan jalan di jalur utama. Adalah bukti tak terbantahkan, dari perwujudan rasa bangga dan kebanggaan serta pengakuan atas keberadaan badak di wilayah Banten. Atas eksistensi Ujung Kulon sebagai taman nasional sekaligus sebagai salah satu icon konservasi internasional yang berada di wilayah Banten, tetapi apa yang sudah kita lakukan untuk mempertahankan kebanggaan itu? untuk mengurai permasalahan dan mengambil peran mengurangi tekanan dan beban yang berpotensi menghilangkan eksistensi Taman Nasional Ujung Kulon dan badak, berpotensi menghilangkan kebanggaan kita pada icon konservasi, yang melambungkan nama Banten di dunia internasional.
Dimanapun di dunia ini kepentingan konservasi dan ekonomi, kerap menjadi seteru yang tidak pernah ada habis-habisnya. Bahkan tidak jarang kolaborasi kebijakan pemerintah dengan kepentingan ekonomi, menjadi ancaman serius kawasan-kawasan konservasi, menghancurkan budaya dan kearifan lokal masyarakat untuk menjaga keseimbangan alam dengan menjaga tanah adat atau hutan tutupan, dengan kebijakan pemerintah yang mengijinkan eksploitasi lahan dan sumber daya alam di atas dan di dalam tanah adat dan hutan tutupan mereka. Demikian pula sebaliknya kebijakan pemerintah untuk mengkonservasi kawasan tertentu dengan menetapkan kawasan tersebut menjadi cagar alam, suaka alam atau taman nasional kerap harus terganggu atau diganggu oleh masyarakat, dengan aktivitas perambahan, illegal logging dan pencurian satwa yang dilindungi.
Hal yang tidak bisa kita lupakan adalah keterbatasan akses masyarakat kita pada sumber daya alam, bukan karena faktor kelimpahan tetapi lebih banyak disebabkan oleh ketidakmampuan untuk mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang ada, karena faktor pendidikan dan penguasaan teknologi. Oleh karena itu meski negeri kita diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah, tidak jarang karena keterbatasan itu mereka lebih sering menjadi penonton atau memanfaatkan sumber daya alam dengan teknologi seadanya, yang terkadang membahayakan nyawa mereka sendiri. Oleh karena itu adanya aturan-aturan konservasi, tidak lebih dari pembatasan ruang yang sulit untuk mereka dapat mereka pahami dan patuhi karena hanya akan menjadikan kesempatan mereka untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam dan lahan akan semakin berat.
Rekomendasi
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, tidak ada pilihan lain untuk semua pihak termasuk organisasi serikat petani dan lembaga swadaya masyarakat yang selama ini berjuang, melakukan pembelaan dan pemberdayaan masyarakat, untuk bersama-sama menyusun rencana aksi dan/atau exit strategy dari berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan konservasi TNUK dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat yang ada disekitar TNUK. Apabila konflik dua kepentingan tersebut tidak kita selesai, kita biarkan berlarut-larut, disamping energi kita akan terkuras habis untuk berseteru, yang ditakutkan munculnya kembali konflik dengan skalasi yang lebih besar dan kita kehilangan kesempatan untuk membangun keseimbangan agar dua kepentingan tersebut dapat berjalan secara bersama-sama. Didasarkan pada kepentingan tersebut di atas, hal-hal bisa kita lakukan bersama-sama, adalah sebagai berikut:
Mempertegas Status Kepemilikan dan Batas Tanah (Land Tanure)
Pada proses land tanure ini sangat diperlukan keterbukaan, kejujuran dan ke”legowo”an masing-masing pihak, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat, yang diarahkan pada keselarasan dua kepentingan tadi. Selama masing-masing pihak kukuh dengan prinsip dan mengabaikan kompromi, proses land tanure tidak akan berjalan dengan optimal.
Oleh karena itu menyepakati prioritas peruntukan kawasan menjadi penting untuk dilakukan dengan berladaskan pada keterbukaan, kejujuran dan ke”legowo”an. Hal tersebut sangat diperlukan untuk mengatur mana kawasan yang mutlak harus menjadi kawasan konservasi dan mana kawasan yang dapat dijadikan kawasan permukiman dan usaha masyarakat, disamping harus didasarkan pula pada kajian yang cukup, untuk menghidari timbulan dampak akibat kesalahan dalam menentukan priotitas peruntukan kawasan.
Disamping itu keterbukaan, kejujuran dan ke”legowo”an juga penting sebagai landasan perubahan sikap masyarakat dan landasan hukum yang selama ini menjadi keputusan pemerintah serta dianggap sebagai keputusan sepihak oleh masyarakat. Kesepakatan atas hasil land tanure tersebut diharapkan mampu membangun kembali hubungan dan kepercayaan para pihak yang terlibat dan diharapkan akan memberikan pengaruh positif pada keselarasan dua kepentingan tersebut.
Membangun Jejaring Kerja
Upaya untuk membangun jejaring kerja sudah dilakukan oleh para pihak yang peduli pelestarian TNUK, upaya yang diinisiasi oleh Balai TNUK dan WWF tersebut diharapkan mampu menyusun dan menyepakati rencana aksi dan/atau exit strategy yang dapat menjangkau seluruh simpul-simpul permasalahan yang ada.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam membangun jejaring kerja adalah keterwakilan para pihak, semakin banyak organisasi dan/atau lembaga masyarakat yang terlibat akan semakin baik. Hal tersebut tidak akan menjadi permasalahan selama organisasi dan/atau lembaga yang terlibat memiliki kesamaan visi, misi, tujuan dan semangat untuk membangun keseimbangan ekologi, sosial dan ekonomi di TNUK dan sekitarnya. Namun bila organisasi dan/atau lembaga yang terlibat hanya mengedepankan pembelaan kepentingan masyarakat dan/atau sendiri, dengan tidak mengindahkan kompromi sebagai upaya untuk mencari jalan yang terbaik dari konflik, jejaring kerja yang dibangun dipastikan akan menjadi upaya yang sia-sia.
Peran Pemerintah
Hal yang tidak kalah pentingnya dari upaya membangun keseimbangan ekologi, sosial dan ekonomi di TNUK dan sekitarnya adalah peran pemerintah Banten dan Pandeglang. Balai TNUK dengan seluruh sumber daya yang dimiliki bertanggung jawab secara penuh terhadap pelestarian dan kelestarian keanekaragaman hayati yang ada di TNUK, tetapi sumber daya yang ada tersebut dipastikan tidak akan memadai bila digunakan juga untuk menangani masyarakat. Disamping itu apabila tidak ada tekanan dari aktivitas masyarakat yang masuk kedalam kawasan, keanekaragaman hayati yang ada di TNUK dipastikan tidak akan terganggu dan akan terus berkembang secara alamiah.
Untuk mengurangi tekanan dari masyarakat itu peran pemerintah Banten dan Pandeglang diperlukan untuk membangun kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat, bekerja sama dengan organisasi dan/atau lembaga masyarakat yang telah menyusun dan menyepakati rencana aksi dan/atau exit strategy yang berkaitan dengan permasalahan masyarakat. Walau bagaimanapun masyarakat yang berada di sekitar TNUK adalah masyarakat Kabupaten Pandeglang dan/atau Banten, jadi sudah sepantasnya kalau mereka menjadi urusan dan ditangani oleh pemerintah Kabupaten Pandeglang dan/atau Banten.
Penanganan itulah yang sebenarnya diharapkan sebagai wujud kepedulian dan representasi rasa bangga dengan TNUK dan seluruh keanekaragaman hayati yang ada didalamnya, dengan badak sebagai icon konservasinya dari Pemerintah Banten dan rakyatnya, agar masyarakat di sekitar kawasan TNUK memiliki kesempatan yang sama dengan masyarakat dari wilayah lain di Provinsi Banten, untuk upaya peningkatan ekonomi dan kesejahteraan. Demikian diharapkan dengan adanya peningkatan ekonomi dan kesejahteraan tersebut tekanan kegiatan masyarakat di dalam kawasan menjadi berkurang.
Marilah Kita Lestarikan TNUK dengan seluruh keanekaragaman hayati yang ada didalamnya, untuk dikembalikan kepada anak cucu kita kelak
(suwung, sumber photo Google Earth)

No comments:

Pages