Empat Tahun Implementasi Jasa Lingkungan DAS CIDANAU Banten

Pendahuluan
Hampir empat tahun sudah uji coba hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan di DAS Cidanau Provinsi Banten, waktu yang seharusnya cukup untuk semua para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dari DAS Cidanau, untuk berfikir tentang perspektif pengelolaan DAS untuk masa-masa yang akan datang dengan didasarkan pada pengalaman 4 tahun perjalanan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan di DAS Cidanau.
Pemahaman jasa lingkungan atas pemanfaatan sumber daya air (water resouches), jasa pemrosot karbon (carbon sequestration), jasa keindahan panorama alam (scenic beauty) dan jasa keanekaragaman hayati (biodiversity), masih belum menjadi pemahaman umum di masyarakat. Akan tetapi dari upaya-upaya sosialisasi yang telah dilakukan, telah tumbuh kesadaran dan keinginan untuk membayar (willingness to pay) dari perusahaan-perusahaan yang secara tidak langsung memanfaatkan air dari DAS Cidanau. Munculnya kesadaran dan keinginan untuk membayar tersebut, diharapkan mampu memperkuat pondasi yang telah dibangun oleh para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam DAS Cidanau, yang tergabung dalam Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC).
Hal yang paling diharapkan dari perjalanan hampir empat tahun terakhir ini, adalah tumbuhnya kesadaran dari teman-teman pemerintah yang selama ini terlibat dalam proses untuk secara sadar memperkuat mekanisme yang telah ada dan terbangun. Sampai dengan saat ini kepedulian yang didasarkan pada kepentingan administrasi proyek masih mendominasi sikap dan prilaku sebagian besar teman-teman pemerintah, bahkan semangat kebersamaan yang mampu mendorong terbangunannya sinergitas dan integrasi konsep pengelolaan DAS kerap dikalahkan oleh pola-pola berfikir yang sangat sektoral dan cenderung egosentris. Sehingga koordinasi antar institusi dan/atau lembaga pemerintah sendiri dalam pengelolaan DAS Cidanau, menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan. Padahal pt. Krakatau Tirta Industri (KTI) sebagai bagian dari sektor swasta dan kelompok-kelompok tani yang mau menerima dan menjalanlan konsep dan mekanisme ini, telah berani melakukan perubahan-perubahan yang sangat berarti sehingga konsep dan mekanisme ini dapat berjalan dengan baik.
Hasil Renegosiasi Dengan Buyer
Setelah FKDC dan KTI membuat kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, dengan jangka waktu untuk 5 (lima) tahun (2005-2009). Kesepakatan penting tersebut antara lain; KTI menunjuk FKDC sebagai lembaga yang mewakili kepentingan KTI sebagai buyer di masyarakat yang telah ditetapkan sebagai produsen jasa lingkungan (seller) di hulu DAS Cidanau, KTI secara sukarela (voluntary) membayar jasa lingkungan atas pemanfaatan sumber daya air DAS Cidanau sebesar Rp. 175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) per tahun untuk dua tahun pertama dan untuk membayar jasa lingkungan kawasan hutan rakyat di hulu DAS Cidanau seluas 50 hektar.
Menjelang berakhirnya tahun kedua perjanjian pembayaran jasa lingkungan, FKDC dan KTI kembali melakukan negosiasi ulang (renegosiasi), untuk jumlah pembayaran jasa lingkungan KTI untuk tahun-tahun berikutnya. Negosiasi yang dilaksanakan pada bulan Desember 2006 tersebut menyepakati jumlah pembayaran KTI sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) per tahun untuk dua tahun yang kedua, dan untuk jumlah pembayaran pada tahun terakhir dari masa perjanjian pembayaran jasa lingkungan yang disepakati selama lima tahun tersebut akan dilakukan renegosiasi pada akhir tahun 2008 ini.
Hal yang melegakan dari proses renegosiasi itu, adalah kesediaan manajemen KTI untuk terus mendukung dan memperkuat implementasi hubungan hulu hilir dengan mekanisme jasa lingkungan di DAS Cidanau, dengan didasarkan pada kesadaran ketergantungan keberlanjutan bisnis KTI pada ketersediaan air di DAS Cidanau. Akan tetapi disisi lain manajemen KTI sangat mengharapkan adanya regulasi yang memungkinkan mereka untuk membayar jasa lingkungan dengan berlandaskan pada aturan hukum dan perundang-undangan, tidak lagi berlandaskan pada voluntary yang berpotensi akan menimbulkan masalah bagi KTI pada saat di audit.
Tuntutan regulasi dari KTI itulah yang kemudian diharapkan segera ditindaklanjuti oleh pemerintah, sehingga mekanisme yang sudah ada dan terbangun dapat menjadi lebih kuat sebagai landasan keberlanjutan dan pengembangan konsep dan mekanisme hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan itu sendiri.
Pengembangan dan Pembelajaran
Saat ini kawasan yang mendapatkan pembayaran jasa lingkungan seluas 100 hektar, yang terbagi dalam 4 kelompok tani dengan kawasan masing-masing seluas 25 hektar. Kelompok tani penerima pembayaran jasa lingkungan tersebut adalah Kelompok Tani Karya Muda Desa Citaman Kecamatan Ciomas, Kelompok Tani Maju Bersama Desa Cibojong Kecamatan Padarincang, Kelompok Tani Agung Lestari Desa Kadu Agung Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Serang dan Kelompok Tani Alam Lestari Desa Cikumbueuen Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Dengan jumlah pembayaran jasa lingkungan untuk setiap kelompoknya sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) per tahun atau sebesar Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) per hektar per tahun.
Kelompok Tani Karya Muda Desa Citaman Kecamatan Ciomas dan Kelompok Tani Maju Bersama Desa Cibojong Kecamatan Padarincang, merupakan kelompok tani dari generasi pertama yang terlibat sejak awal dalam upaya pembangunan dan pengembangan mekanisme hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan di DAS Cidanau, dengan masa perjanjian mulai tahun 2005 dan sampai dengan tahun 2009. Sedangkan Kelompok Tani Agung Lestari Desa Kadu Agung Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Serang dan Kelompok Tani Alam Lestari Desa Cikumbueuen Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang, merupakan kelompok tani generasi kedua yang menerima pembayaran jasa lingkungan dengan masa perjanjian pembayaran dimulai pada awal tahun 2008 sampai dengan 5 tahun ke depan. Dua kelompok tani yang terakhir merupakan pengembangan kawasan pembayaran yang dilakukan FKDC, yang dananya diambil dari selisih pembayaran KTI dengan hasil negosiasi Seller.
Pada saat ini Kelompok Tani Maju Bersama dari Desa Cibojong Kecamatan Padarincang Kabupaten Serang, sudah tidak lagi menjadi bagian dari hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan DAS Cidanau. Perjanjian pembayarannya dengan FKDC, terpaksa diputus. Hal tersebut didasarkan pada adanya pelanggaran kelompok yang ditemukan oleh Tim Independent yang dibentuk dan ditunjuk oleh Ketua FKDC, pada saat pelaksanaan verifikasi sebagai persyaratan yang harus dilaksanakan oleh Koordinator Bidang Pengelola Jasa Lingkungan FKDC sebelum membayar jasa lingkungan kepada masing-masing kelompok tani.
Pelanggaran yang ditemukan oleh Tim Independent pada saat verifikasi adalah penebangang 15 (lima belas) batang pohon di atas beberapa lahan milik anggota kelompok yang masuk dalam perjanjian pembayaran jasa lingkungan, pohon-pohon yang ditandai dengan nomor-nomor sesuai dengan jumlah tegakan pohon yang menjadi bagian perjanjian pembayaran jasa lingkungan di atas lahan milik masing-masing anggota kelompok. Pada saat rapat pembahasan dengan Ketua Kelompok Tani, FKDC memberikan beberapa alternatif untuk dilakukan kelompok dalam kurun waktu tertentu agar kelompok tani tetap menjadi bagian dari mekanisme transaksi jasa lingkungan DAS Cidanau. Namun sampai dengan batas waktu yang ditentukan dan telah disepakati dengan ketua kelompok, kelompok tidak melakukan tindakan perbaikkan apapun, apalagi menjalankan alternatif-alternatif yang telah ditawarkan, bahkan pada saat pelaksanaan verifikasi enam bulan kemudian, pohon yang ditebang jumlahnya malah semakin banyak.
Pelanggaran tersebut dimungkinkan disebabkan oleh masyarakat tidak membaca perjanjian pembayaran jasa lingkungan dengan baik dan seksama, ketertarikan masyarakat untuk terlibat dalam mekanisme ini lebih didasarkan pada adanya sejumlah uang yang akan mereka terima dengan tanpa pengorbanan yang relatif berat. Disisi lain FKDC tidak melakukan penguatan-penguatan kelembagaan dan pertemuan rutin dengan kelompok yang mampu mendorong terbangunnya pemahaman anggota kelompok terhadap konsep dan mekanisme yang tengah mereka jalani. Pada kondisi tersebut di atas, masing-masing pihak merasa mengambil langkah dan tindakan yang benar. Kelompok merasa FKDC tidak memenuhi kewajiban untuk membayar, sementara disisi lain FKDC merasa kelompok telah melanggar aturan dalam perjanjian yang telah disepakati. Sementara ketua kelompok yang seharusnya mampu memberikan penjelasan kepada anggotanya, terkesan tidak peduli dan menganggap penting ketentuan dan alternatif yang ditawarkan FKDC.
Berkaitan dengan hal tersebut, lagi-lagi diperlukan peran aktif dari lembaga pemerintah untuk mengisi ruang-ruang kosong yang ada dalam proses pembangunan dan pengembangan hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan di DAS Cidanau, tidak saja berkaitan dengan penguatan kelembagaan masyarakat dan regulasi, tetapi juga kegiatan-kegiatan alternatif yang mungkin dikembangkan oleh masyarakat untuk mengurangi ketergantungan masyarakat atas kayu. Dengan demikian diharapkan masyarakat tidak cenderung untuk melakukan deforestasi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan peningkatan ekonominya, karena tercukupi oleh kegiatan alternatif dan pembayaran jasa lingkungan. (suwung, 3 september 2008)